Senin, 29 Februari 2016

Teks Eksplanasi tentang Fenomena Sosial

Putus Sekolah
 


Kasus putus sekolah merupakan salah satu fenomena sosial yang berkaitan dengan aspek kependidikan yang menjadi masalah di masyarakat atau kalangan pelajar. Seperti sebuah penyakit yang menyerang kronik segi kehidupan masyarakat. Sudah banyak tindakan yang dilakukan dalam penanganan masalah ini, tetapi belum juga tuntas. Di Indonesia sendiri  kasus putus sekolah mencapai angka yang cukup tinggi. Khususnya di daerah daerah yang terpencil.
Ada beberapa faktor yang sangat mendasar yang menjadi penyebab terjadinya putus sekolah. Putus sekolah biasanya terjadi karena faktor ekonomi orang tua. Kurangnya ekonomi orang tua yang dikarenakan tidak adanya penghasilan tetap atau tidak adanya pekerjaan menyebabkan anak menjadi tidak punya biaya untuk sekolah dan mereka terpaksa ikut bekerja membantu orang tua mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan.
Faktor lain yang menyebabkan putus sekolah antara lain, faktor internal, dari dalam diri anak sendiri tidak punya semangat untuk mengenyam pendidikan, malas ke sekolah karena minder sehingga tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya, sering di bully karena tidak mampu membayar biaya sekolah sehingga membuat psikologis anak menjadi terganggu. Faktor eksternal, yaitu keluarga dan lingkungan. Keluarga merupakan aspek terpenting dalam mendukung tumbuhnya psikologis anak. Kurangnya perhatian orang tua membuat anak menjadi urakan dan nakal. Selain itu lingkungan dan pergaulan yang terlalu ‘bebas’ membuat anak menjadi ikut ikutan tidak aturan. Kenakalan remaja paling utama memang disebabkan oleh orang tua atau keluarga.
Akibat terjadinya putus sekolah, menimbulkan berbagai persoalan sosial bagi yang mengalaminya. Anak putus sekolah sering melakukan tindak kriminal yang tidak jarang membuat masyarakat resah. Mencuri, merampok, dan mencopet menjadi kebiasaan sehari hari. Selain itu, bertambahnya pengangguran akibat putus sekolah menyebabkan kekacauan sosial karena pengemis dan gelandangan meningkat pesat.
Dari uraian di atas, maka sudah jelas bahwa kasus putus sekolah dapat dikatakan masalah serius yang harus segera ditangani. Sebab masa depan bangsa dan negara berada di tangan pemuda, para pelajar. Pemerintah di harap lebih tegas lagi dalam menyikapi masalah ini. Begitu pun dengan orang tua serta para tenaga pendidikan, harus bisa memberikan motivasi belajar dan pengawasan pada anak anak.

Cerpen Sederhana


One Heart to Earth

 “Lyaa…!!” Panggil Seseorang di belakangnya. Lya berhenti sejenak. Ia mengingat – ingat suara itu. Sepertinya Lya mengenal suara itu. Yap! Suara Kiva. Arkiva Jonathan Trihapsari. Itulah nama lengkap Kiva. Ia adalah orang paling bawel di kelas 6A. Tapi kadang dia juga baik dan perhatian lho! Lya memicingkan mata dan berbalik arah menghadap Kiva. “Ada apa? Bukankah sudah kubilang aku tidak mau berurusan denganmu lagi.” Dengus Lya kesal. “Ayolaah..Kumohon. Sekali ini saja.” Ucap Kiva memohon.“Hufftt…Oke. Aku menuruti permintaanmu. Tapi ingat! Ini permintaan terakhirmu. Selanjutnya, aku tidak mau berurusan denganmu.” Kata Lya mengalah. Ia tidak tegaan jika harus menolak permintaan temannya yang sudah begitu baik kepadanya sejak pertama masuk SMP.  “Ah! Benarkah? Terima Kasih Lyaa!! Kamu memang temanku yang paliiingg baik!” Pekik Kiva girang. “Ya. Lalu? Sekarang aku boleh pulang, kan? Aku sudah mengantuk.” “Eittss..Jangan dulu. Kita kan belum membicarakan masalahnya?” Sergah Kiva. “What???? Masalah? Masalah apalagi, sih?” Tanya Lya kaget sekaligus kesal. Kiva menepuk jidatnya. “Adduuhh..Lya, belajar melukis kan enggak sebentar? Kalo kamu enggak kerumah aku emang bisa ngajarin melukis? Kamu mau ajarin aku melukis lewat online?” “Ya enggak laahh.. Mana bisa melukis lewat online? Ada – ada aja. Kamu yang harus ke rumahku.” “Apa?? Enggak salah Ly?” “Salah? Yang butuh siapa, sih?” Ujar Lya sewot. “Nnnggg..Ya aku yang butuh. Tapi kan…” “Tapi apa? Yang butuh kan kamu? Kenapa aku yang harus repot? Ah! Sudahlah. Aku pergi dulu.” Ucap Lya sembari meninggalkan Kiva sendirian di teras sekolah.
***
Minggu pagi yang cerah. Matahari telah menampakkan sinarnya. Cahayanya masuk kamar Lya melalui celah – celah jendela. Burung – burung berkicau dengan riang gembira. Drrttt…drrtttt… Ponsel Lya bergetar. Lya yang masih tertidur pulas memeluk boneka teddy bear berwarna cokelat kesayangannya kemudian terbangun. Perlahan ia membuka matanya dan mengambil ponsel yang berada di meja sebelah tempat tidurnya. Ternyata pesan masuk dari Kiva. Lya berusaha bangun dengan separuh nyawanya yang belum terkumpul. Rambut lurusnya acak – acakan. Ia membuka pesan dari Kiva.


Kiva : Ly, ntar sore aku ke rumahmu ya? J
Lya   : Ngapain?
Kiva : Mau belajar melukis.
Lya   : Emm… Oke. Jam berapa?
Kiva : Jam 3 sore.
Lya  : O.K
Lya menutup ponselnya dan bergegas mandi, kemudian turun ke bawah untuk sarapan. Pagi ini ia mengenakan kaus berwarna merah bertuliskan ‘Nice’ dan celana jeans selutut berwarna hitam. “Morning, mam” Sapa Lya sembari mencium  pipi mamanya. “Morning, sayang. Kamu mau sarapan apa?” Tanya mama. “Aku mau sarapan roti tawar sama susu cokelat aja deh, ma” jawabku. Mama segera mengambil roti tawar dan mengoleskan margarine di atasnya. Lalu, menuangkan susu cokelat pada gelas bening berukuran sedang. Lya segera melahap roti tawar itu. Dalam tiga kali suapan, roti itu sudah lenyap dari tangannya. “Ma, Pak Rudi mana?” tanya Lya pada mama yang sedang mengunyah sandwich kesukaannya. “Pak Rudi? Ada kok di depan. Kenapa?” Mama balik bertanya. “Aku mau ke stationery. Mau cari peralatan melukis.”  “Hah? Sejak kapan kamu suka melukis?” Tanya mama kaget. “Sebenarnya  enggak begitu suka sih, Ma. Cuma, Kiva pengen diajarin melukis yang bagus. Kemarin dia lihat lukisanku di kamar. Dia terpesona gitu. Dan bulan depan Kiva juga ikut lomba melukis. Intinya, dia kayak kursus melukis gratis ke aku gitu deh, ma.” Terang Lya panjang lebar. Mama mengangguk. “Iya deh. Mama setuju. Sekali – sekali bagi ilmu sama teman. Nanti mama kasih uang buat beli peralatan melukis.” “Hah? Yang bener, ma?” Tanya Lya tak percaya. Mamanya tersenyum. “Waahhh..makasih , ma.” Lya segera menghabiskan susu cokelatnya dan bersiap untuk berburu peralatan melukis.
Di stationery, Lya segera mencari semua yang ia butuhkan untuk melukis. Berapapun harganya. Karena mama telah memberinya uang Rp.300.000,00,-. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Lya segera membayarnya di kasir. Ia membeli kanvas, 1 paket kuas lukis, cat minyak, palet, dan pengencer cat. Sepulang berbelanja, Lya mampir dulu ke toko kue dan pondok jus. Ia membeli 2 buah donat berlumur cokelat padat, 3 klappertart untuk Kiva sore nanti, dan segelas jus jambu kesukaannya. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah. Di jalan, terjadi kemacetan panjang. Lya jenuh dan kepanasan. Padahal jam masih menunjukkan pukul 10 dan AC mobil sudah menyala pada temperatur nomor 2. Masih bisa dibilang pagi untuk daerah bercuaca cerah dan berhawa dingin. Lya menengok keadaan luar dari jendela mobil. Ia melihat asap pabrik mengepul dimana – mana. Kanan kiri dipenuhi gedung – gedung bertingkat dan berkaca.  Ia juga melihat asap kendaraan motor di depan, dan samping mobilnya. Lya menunduk. Dalam hati ia berkata, “Jika setiap hari seperti ini, dan kendaraan bermotor, juga gedung bertingkat bakal bertambah setiap tahunnya, bagaimana bumi ini 30 tahun yang akan datang??” Lya bertanya – tanya dalam hati.
***
Tingg..Tongg.. Bel rumah Lya berbunyi. Lya membuka pintu. Ternyata itu Kiva. “Eh, Kiva. Ayo masuk dulu.” Perintah Lya. Beberapa menit kemudian, Lya sudah datang dengan peralatan lukisnya. “Kita melukis di taman komplek aja ya?”. Kiva mengangguk dan mengikutinya sampai ke taman komplek. “Nah..ini yang nanti bakal jadi obyek lukisan kita.” Ucap Lya menunjuk taman bunga dan air mancur yang indah di depannya. Kiva mengangguk setuju. Ia segera mengeluarkan peralatan lukisnya. Begitupun dengan Lya. Saat Lya akan menggoreskan kuas pada kanvas, tiba – tiba berhenti dan berfikir. Kemudian ia meletakkan palet dan kuasnya di sebelah kursi. Mengurungkan niatnya untuk melanjutkan melukis. Ia berlari menuju taman di depannya dan bersembunyi di balik salah satu pohon besar. Memang, taman komplek berada di dekat hutan jati yang tidak terlalu luas. “Sedang apa orang itu?” Tanya Lya dalam hati. “Mengapa ia merobohkan semua pohon – pohon itu?” Tanya Lya dalam hati lagi. Lya memang sangat cuek terhadap lingkungan. Ia tidak begitu mengerti tentang lingkungan. Yang ia tahu hanya polusi, banjir, dan tanah longsor. Itu saja dulu Lya terpaksa tahu karena menginap di rumah Tante Hety yang dulunya ia seorang Duta Lingkungan. Lya menginap di rumah Tante Hety selama sebulan penuh dan setiap harinya diisi dengan pelajaran tentang lingkungan yang membuat Lya pusing tak mengerti. Kiva yang memperhatikan gerak – gerik Lya kemudian mendekat dan mencolek bahu Lya. Lya terkejut. “Kamu ngapain di sini, Ly? Bukankah kit..” Lya memotong pembicaraan Kiva dengan menempelkan jari telunjuknya pada bibir Kiva. “Ssstt..aku sedang mengamati orang itu.” Bisik Lya. “Itu kan pemburu liar??” Teriak Kiva. Orang yang sedang merobohkan pohon tadi menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke kanan-kiri karena mendengar teriakan Kiva yang cukup keras. Lya dan Kiva segera merendah dan bersembunyi di balik semak. Orang itu kembali melanjutkan pekerjaannya, merobohkan pohon. Setelah merasa aman, Kiva dan Lya berlari kembali ke taman. Lya buru – buru membereskan peralatan lukisnya. “Ly, kamu mau kemana?” Tanya Kiva. “Aku mau pulang, Kiv. Aku ada urusan mendadak di rumah. Maaf.” Ucap Lya singkat seraya pulang ke rumah. Kiva memandangi Lya dengan heran. “Lya habis kesambet setan apaan, sih?” gumamnya. Kiva pun juga membereskan peralatan lukisnya dan ikut pulang.
Di kamar, Lya mengobrak – abrik rak bukunya. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu yang dianggap ‘PENTING’. Sampai – sampai kamarnya dipenuhi buku – buku berserakan. “Duuhhhh..dimana sih? Dulu kan mama pernah beliin buku itu? Kenapa coba dulu aku cuekin buku itu? Huh!” Lya mengomel – ngomel enggak jelas. Tiba – tiba raut wajahnya berubah senang. Lya mendapatkan buku yang di cari. Buku berjudul  ‘Ensiklopedia Lingkungan’. Ia membolak – balik halaman buku bersampul hijau itu. Ia berhenti pada satu halaman bergambar animasi 4 orang sedang ‘Merobohkan Pohon’. Matanya bergerak ke kiri dan kanan mencoba memahami isi tulisan yang tertera pada halaman itu. Lya mengangguk mengerti. Kini, ia sudah tahu apa yang dilakukan orang berbadan kekar di hutan dekat taman tadi sore. Lya menengok ke jendela. Ia memperhatikan bintang – bintang yang bertaburan di langit dan Bulan yang menampakkan sinar terang benderang. Lya tersenyum lalu membereskan buku – buku yang berserakan di lantai, kasur, dan meja belajarnya.
***
Esok pagi di sekolah, Lya bertemu dengan Kiva. “Ly, kemarin kamu kok pu..” ucapan Kiva terputus karena Lya buru – buru menjawabnya “Maaf. Kemarin aku di sms sama mama suruh pulang lebih cepat. Aku pergi dulu.” “Ly..Lyaa!! Tunggu!!”. Lya tak menggubris panggilan Kiva. Kiva menghela nafas dan kembali berjalan menuju kantin.
Di perjalanan pulang sekolah, Lya lagi – lagi terjebak macet panjang. “Pak, kok macet lagi, sih?” Keluh Lya pada sopirnya. “Iya, non. Ada banjir. Jalurnya dialihkan. Lewat pemukiman yang jalannya sempit. Jadi harus bergantian.” Jelas Pak Rudi. Lya menarik nafas panjang. Dilihatnya jendela mobil dengan malas. Saat melewati pemukiman padat penduduk, Lya memicingkan mata. Ia melihat aliran sungai yang kotor dan airnya tidak jernih. Kemudian ada seorang wanita parubaya sedang membuang sampah dari tong yang dibawanya. Dalam hati ia berkata “Sungguh mengenaskan dunia ini. Pantas saja, sering terjadi tanah longsor dan banjir. Ingin rasanya aku melindungi dunia ini. Aku ingin merubah sikap. Sikap yang cuek terhadap lingkungan ingin kuubah menjadi pecinta lingkungan. Tekadku sudah bulat.” Gumam Lya.
Sore hari, Lya pergi ke hutan komplek dengan menaiki sepeda mininya. Ia bersembunyi di balik semak – semak. Mengintip kegiatan para pria kekar itu. “Apa? Pohon di hutan komplek ini sudah hampir lenyap? Bagaimana bisa? Bagaimana nanti kehidupan di komplek ini jika tidak ada penghasil oksigen?” Ujar Lya lirih. Ia kemudian kembali memacu sepeda mininya ke rumah Pak Udin, ketua komplek Perumahan Lya. “Pak Udin!! Pak Udin!!” Teriak Lya dari depan rumah Bapak berusia kepala empat itu. “Iya. Ada apa nak Lya?” Pak Udin datang dengan tergopoh – gopoh. “Lya minta waktu bapak sebentar ya? Lya mau ngobrol sama bapak.” Ucap Lya sembari memarkir sepeda mininya di depan garasi mobil pak Udin. Pak Udin mempersilahkan Lya masuk. “Begini, pak. Akhir – akhir ini, saya melihat ada beberapa orang berbadan kekar melakukan penebangan pohon di hutan Komplek ini. Dan jika tidak ada penanganan lebih lanjut tentang nasib hutan komplek, bagaimana kehidupan kita nantinya? Jika tidak ada tumbuhan sebagai penghasil oksigen, kita tidak dapat bernafas dan akhirnya mati. Bagaimana pak?” Ujar Lya menggebu – nggebu. “Tenang, nak Lya. Sebenarnya saya sudah melarang mereka. Namun hanya bertahan selama 3 hari. Lalu, beraktifitas seperti itu lagi sampai sekarang. Saya menyerah karena mengetahui mereka adalah pekerja bayaran Pak Anton, sahabat karib saya. Maaf, nak Lya.” Terang Pak Udin. Lya merasa sedikit geram pada Pak Udin. Pemimpin macam apa ini? Hanya karena sahabat karib saja tidak berani menentangnya. Huh! “Bapak ini bagaimana? Keselamatan penduduk komplek lebih penting, pak. Apa bapak pikir dengan masih adanya pohon di depan rumah warga,bisa mengantisipasi polusi, udara panas, dan penghasilan oksigen?” Ujar Lya berusaha mengendalikan emosinya. “Masih bisa, nak.” “Iya pak memang masih bisa, tapi tidak maksimal. Lapisan atmosfer bakal terancam. Juga kehidupan di bumi, pak.” Mendadak Lya berpengetahuan luas tentang lingkungan. Dalam hati, Lya pun juga heran, kok dia bisa tahu segalanya tentang lingkungan sampai dampaknya? Padahal kan dulu dia malas mempelajari bab lingkungan. Ah! Sudahlah. Pak Udin menunduk menyesal. Lya juga menyesali perkataan kasarnya pada Pak Udin. “Maaf, pak. Jika perkataan saya tadi keterlaluan. Mohon di fikirkan baik – baik, pak. Saya permisi dulu.” Lya berpamit pada Pak Udin. Pak Udin hanya mengangguk sambil tersenyum.
***
Oh ya, sebenarnya Lya mempunyai saudara kembar, bernama Selviana Tiffany atau biasa dipanggil Selva. Selva meninggal dalam kecelakaan naas 2 tahun lalu bersama Papanya. Kejadian tersebut terjadi saat Papa mengantar Selva ke tempat latihan balet. Papa Lya selamat dalam kecelakaan tersebut. Namun, menderita stroke cukup parah. Sedangkan Selva meninggal dalam peristiwa tersebut karena kepalanya terbentur benda keras hingga menyebabkan gegar otak dan meninggal. Pak Dani atau Papa Lya sekarang menjalani rawat jalan dan tidak bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kini, mama yang harus menanggung beban keluarga.
***
Lya berjalan menyusuri koridor sekolah. Ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari Tante Hety. Lya segera memencet tombol telepon berwarna hijau.
Tante Hety : “Assalamu’alaikum Lya.”
Lya               : “Wa’alaikumsalam tante. Ada apa?”
Tante Hety : “Begini, Mamamu kemarin sudah cerita pada tante. Katanya, sekarang, kamu  mulai    menyukai lingkungan. Apa benar?”
Lya               : “Iya, benar. Tante.”
Tante Hety : “Rencananya, tante mau mengajak kamu bergabung dalam klub lingkungan tante. Kamu mau, kan?”
Lya               : “Emm...bentar aku tanya mama sama papa dulu ya, te?”
Tante Hety : “Kemarin tante sudah bertanya pada mama dan papamu. Dan mereke berdua memperbolehkan dengan senang hati.”
Lya              : “Beneran tante? Waahhh.. kalau begitu, aku mau tante.”
Tante Hety : “Oke. Besok sore tante Hety sama Aldo ke rumahmu ya?”
Lya               : “Siaapp tante!!”
Tante Hety   : “Oke. Assalamu’alaikum.”
Lya              : “Wa’alaikumsalam, tante.”
Lya menutup telepon dengan hati berbunga. Ia berjalan gontai sambil tersenyum – senyum sendiri. Anak – anak yang bertemu dengan Lya merasa heran. Sedari tadi, tingkah Lya diperhatikan oleh semua orang yang bertemu dengannya tadi. Namun Lya tak peduli. Ia tetap berjalan dengan santai dan hati yang riang gembira menuju kelas.
Sore harinya, saat Lya sedang menonton acara televisi, seseorang mengetuk pintu dari luar. Lya segera meletakkan bantal berbentuk hati yang dipeluknya tadi. Ternyata 3 lelaki 1 diantaranya adalah Pak Udin. Lya memicingkan mata. “Ada keperluan apa Pak Udin kesini bersama 2 orang ini?” Tanya Lya heran. “Kedua orang ini, Pak Zendi dan Pak Ahmad. Pemilik saham komplek ini. Kami bertiga datang untuk membicarakan soal penebangan liar yang terjadi di perhutanan komplek. Kamu akan dijadikan sebagai narasumber.” Terang Pak Udin. Lya mengangguk mengerti. “Oh. Ya sudah, mari silakan masuk, Pak.” Ketiga orang itu masuk dan duduk di ruang tamu. Lya pergi ke dapur untuk memesan minuman pada Bi Vea. Lalu kembali ke ruang tamu. “Nak Lya. Besok siang. Anda ikut kami ke kantor perhutanan di Kota untuk mengurus permasalahan ini. Saya sudah laporkan tindakan kejam ini pada pihak kepolisian dan sedang diurus.” Pak Ahmad memulai pembicaraan. “Ya, nak Lya. Anda akan menjadi saksi kekejaman Pak Anton dan pekerja bayarannya itu.” Lanjut Pak Zendi. “Tapi saya tidak bisa menjelaskannya.” Ucap Lya. “Tenang saja, kami akan membantu nak Lya untuk menjelaskan semuanya pada polisi.” Ucap Pak Ahmad lagi. Lya menyetujui permintaan Pak Ahmad dan Pak Zendi yang memintanya untuk menjadi narasumber atau saksi mata.
Esoknya, saat pulang sekolah , Lya dijemput oleh mobil sedan hitam dan seorang lelaki berbadan besar dan tegap. Saat sampai di gerbang depan bersama Bayu, Lya dicegat dan diperintah untuk masuk ke mobil. Lya menurut saja. Dari balik jendela, Lya melambaikan tangan pada Bayu. Ternyata, mobil dan penjemput Lya tadi adalah atas perintah Pak Zendi. Mobil itu menuju Kantor Polisi.
Di Kantor Polisi, Lya masih agak canggung dan gugup ketika menjawab sederet pertanyaan dari Polisi. Bermenit - menit ia diinterogasi akhirnya selesai juga. Saat hendak membeli minuman di supermarket terdekat, mendadak Lya ingat sesuatu. Ia mempunyai janji  kepada Tante Hety sore ini. Lya segera berpamitan kepada Pak Zendi, Pak Ahmad, dan Pak Udin yang juga berada di dalam supermarket itu.
Sesampai di rumah, Tante Hety sudah menunggu. “Oh. Maaf telah membuat tante menunggu lama.” Ucap Lya. Tante Hety hanya tersenyum memaklumi. “Oh ya, Ly. Di klub tante itu sering ngadain kegiatan. Dan ada jadualnya.” Jelas Tante Hety. “Tapi aku enggak tahu apa aja jadualnya, Te.” “Ini, tante udah bawa catatan klub buat kamu. Disimpan baik – baik ya? Nanti kalo ada kegiatan, pasti tante akan hubungi kamu. Oh iya, tante juga bawa ini buat kamu.” Kata Tante Hety seraya menyerahkan tas besar berwarna merah pada Lya. Lya menerimanya dengan senang sekaligus penasaran. Ternyata isinya adalah 5 pasang baju dan 3 pasang sepatu. Lya memekik girang dan memeluk Tante Hety. “Makasih, tante. Makasih banyak!!” “Iya, sama – sama, Lya. Ya sudah tante pamit pulang dulu, ya?” Tante Hety menuju tempat parker mobilnya. “Iya, tante. Makasih baju sama sepatunya. Hati – hati di jalan tante.”  Pesan Lya pada Tante Hety. “Iya, sayang.” Ucap Tante Hety lembut. Ia segera masuk mobil beserta putranya, Aldo. “Dadaaahhh!!” Lya melambaikan tangan kepada tante Hety. Mobilnya sudah meninggalkan halaman rumah Lya.
***
Rabu sore, Lya membaca majalah fashion di kamarnya. Ia hanya membolak – balik halamannya saja. Drrttt…drrtt..drrrtt….drrtt… Handphone Lya bergetar, dengan malas, Lya bangkit untuk mengambil handphonenya yang berada di jendela  kamar. Pesan baru diterima. Tante Hety mengabarkan bahwa hari Minggu pagi, ada acara Reboisasi besar – besaran di Hutan Tominez. Lya diharap ikut serta dalam kegiatan tersebut. Berkumpul pukul 07.00. Lya tersenyum dan melempar ponselnya ke spring bed.
***
Minggu pagi yang cerah. Lya sudah bersiap mengikuti kegiatan Reboisasi. Ia mengenakan kaus dan rok mini berwarna hijau muda. Juga flat shoes berwarna putih. Ia berangkat diantar oleh mamanya. Kegiatan berlangsung sampai pukul 10.00. Peluh membasahi kening Lya. Mama  yang ikut menunggu di area hutan segera menyodorkan Air minum dan tisu untuk mengelap keringat Lya. “Ma, kegiatannya seru dan menyenangkan!” Ujar Lya. “Oh ya?” Tanya mama tak percaya. “Iya, mam. Oh ya, besok kata Tante Hety ada meeting klub di rumah tante. Besok anterin ya, ma?” Pinta Lya pada mamanya. Mama mengangguk setuju.
***
Meeting Kamis sore kali ini membahas tentang ‘Penanganan Lingkungan’. Beberapa anggota klub seperti Kak Rio dan Kak Febby ikut memberikan pendapat. Begitupun dengan Lya. “Saya mempunyai usul. Misal setiap rumah di seluruh kota ini, diharuskan menanam tanaman minimal 3. Juga klub kita menanam pohon di sepanjang jalanan kota dan pengerukan sungai yang tercemar sampah. Setiap rumah dihimbau memiliki tempat sampah. Bagaimana?” Lya berbicara panjang lebar. Seluruh peserta meeting sore ini bertepuk tangan dan tersenyum bangga kepada Lya. Lya bingung dan heran. Lalu, ketua klub, Om Hasnan, berbicara. “Usulmu bagus sekali, Ly. Kami semua setuju dengan usulmu. Kami akan mengajukan permintaan ini ke pemerintah. Mungkin sekitar 3 hari lagi hasilnya akan terlihat. Terima kasih atas usulmu.” Om Hasnan berkata bangga kepada Lya. Lya hanya tersenyum senang.
Tiga hari kemudian, perkataan Om Hasnan terbukti. Di surat kabar kota dan televisi terdengar imbauan untuk menghijaukan lingkungan sekitar. Saat perjalanan pulang dari sekolah, Lya juga melihat bego sedang mengeruk sungai kotor di dekat pemukiman  padat penduduk. Lya tersenyum senang melihatnya.
Seminggu kemudian, hasilnya sudah terlihat. Kota Androga tampak hijau dan segar. Lya berjalan di taman kota bersama mama. Tersenyum senang melihat polusi berkurang. Tiba – tiba, ponsel Lya bergetar. Pesan masuk dari Tante Hety yang memintanya untuk segera ke markas klub. Lya segera menarik tangan mama untuk mengantarnya ke markas klub. Sesampai di sana, markas sudah ramai oleh anggota klub. Lya kaget dan bingung karena semua orang yang ada disana memberinya ucapan selamat. Tante Hety tersenyum sambil memeluk Lya. “Selamat ya, sayang. Kamu telah dinobatkan menjadi Duta Lingkungan untuk tahun ini. Dan mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah. Sore ini, kamu akan kami antar ke Pendopo untuk penyerahan penghargaan dan peresmian Duta Lingkungan.” Jelas Tante Hety. Tante Hety menitikkan air mata bahagia. Begitupun dengan mama. Mama dan Tante Hetty memeluk Lya. Semua anggota klub bertepuk tangan. “Stelliana Aulya Tiffany memang putri kecil hebat, mama.” Ucap mama kemudian mencium Lya. Memang tidak sia – sia perjuangannya selama ini.

 -cy