One Heart to Earth
“Lyaa…!!” Panggil Seseorang di belakangnya.
Lya berhenti sejenak. Ia mengingat – ingat suara itu. Sepertinya Lya mengenal
suara itu. Yap! Suara Kiva. Arkiva Jonathan Trihapsari. Itulah nama lengkap
Kiva. Ia adalah orang paling bawel di kelas 6A. Tapi kadang dia juga baik dan perhatian lho!
Lya memicingkan mata dan berbalik arah menghadap Kiva. “Ada apa? Bukankah sudah
kubilang aku tidak mau berurusan denganmu lagi.” Dengus Lya kesal.
“Ayolaah..Kumohon. Sekali ini saja.” Ucap Kiva memohon.“Hufftt…Oke. Aku
menuruti permintaanmu. Tapi ingat! Ini permintaan terakhirmu. Selanjutnya, aku
tidak mau berurusan denganmu.” Kata Lya mengalah. Ia tidak tegaan jika harus
menolak permintaan temannya yang sudah begitu baik kepadanya sejak pertama
masuk SMP. “Ah! Benarkah? Terima Kasih
Lyaa!! Kamu memang temanku yang paliiingg baik!” Pekik Kiva girang. “Ya. Lalu?
Sekarang aku boleh pulang, kan? Aku sudah mengantuk.” “Eittss..Jangan dulu.
Kita kan belum membicarakan masalahnya?” Sergah Kiva. “What???? Masalah? Masalah
apalagi, sih?” Tanya Lya kaget sekaligus kesal. Kiva menepuk jidatnya. “Adduuhh..Lya, belajar
melukis kan enggak sebentar? Kalo kamu enggak kerumah aku emang bisa ngajarin
melukis? Kamu mau ajarin aku melukis lewat online?” “Ya enggak laahh..
Mana bisa melukis lewat online? Ada – ada aja. Kamu yang harus ke
rumahku.” “Apa?? Enggak salah Ly?” “Salah? Yang butuh siapa, sih?” Ujar Lya
sewot. “Nnnggg..Ya aku yang butuh. Tapi kan…” “Tapi apa? Yang butuh kan kamu?
Kenapa aku yang harus repot? Ah! Sudahlah. Aku pergi dulu.” Ucap Lya sembari
meninggalkan Kiva sendirian di teras sekolah.
***
Minggu pagi yang cerah. Matahari telah
menampakkan sinarnya. Cahayanya masuk kamar Lya melalui celah – celah jendela.
Burung – burung berkicau dengan riang gembira. Drrttt…drrtttt… Ponsel Lya
bergetar. Lya yang masih tertidur pulas memeluk boneka teddy bear
berwarna cokelat kesayangannya kemudian terbangun. Perlahan ia membuka matanya
dan mengambil ponsel yang berada di meja sebelah tempat tidurnya. Ternyata
pesan masuk dari Kiva. Lya berusaha bangun dengan separuh nyawanya yang belum
terkumpul. Rambut lurusnya acak – acakan. Ia membuka pesan dari Kiva.
Kiva : Ly, ntar sore aku ke rumahmu ya? J
Lya
: Ngapain?
Kiva : Mau belajar melukis.
Lya
: Emm… Oke. Jam berapa?
Kiva : Jam 3 sore.
Lya
: O.K
Lya menutup ponselnya dan bergegas mandi,
kemudian turun ke bawah untuk sarapan. Pagi ini ia mengenakan kaus berwarna merah bertuliskan
‘Nice’ dan celana jeans selutut berwarna hitam. “Morning, mam” Sapa Lya sembari mencium pipi mamanya. “Morning, sayang. Kamu mau
sarapan apa?” Tanya mama. “Aku mau sarapan roti tawar sama susu cokelat aja
deh, ma” jawabku. Mama segera mengambil roti tawar dan mengoleskan margarine di atasnya. Lalu, menuangkan
susu cokelat pada gelas bening berukuran sedang. Lya segera melahap roti tawar
itu. Dalam tiga kali suapan, roti itu sudah lenyap dari tangannya. “Ma, Pak
Rudi mana?” tanya Lya pada mama yang sedang mengunyah sandwich kesukaannya. “Pak Rudi? Ada kok di depan. Kenapa?” Mama balik bertanya.
“Aku mau ke stationery. Mau cari peralatan melukis.” “Hah? Sejak kapan kamu suka melukis?” Tanya
mama kaget. “Sebenarnya enggak begitu
suka sih, Ma. Cuma, Kiva pengen diajarin melukis yang bagus. Kemarin dia lihat
lukisanku di kamar. Dia terpesona gitu. Dan bulan depan Kiva juga ikut lomba
melukis. Intinya, dia kayak kursus melukis gratis ke aku gitu deh, ma.” Terang
Lya panjang lebar. Mama mengangguk. “Iya deh. Mama setuju. Sekali – sekali bagi
ilmu sama teman. Nanti mama kasih uang buat beli peralatan melukis.” “Hah? Yang bener, ma?” Tanya Lya tak
percaya. Mamanya tersenyum. “Waahhh..makasih , ma.” Lya segera menghabiskan
susu cokelatnya dan bersiap untuk berburu peralatan melukis.
Di stationery, Lya segera mencari
semua yang ia butuhkan untuk melukis. Berapapun harganya. Karena mama telah
memberinya uang Rp.300.000,00,-. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Lya
segera membayarnya di kasir. Ia membeli kanvas, 1 paket kuas lukis, cat minyak,
palet, dan pengencer cat. Sepulang berbelanja, Lya mampir dulu ke toko kue dan
pondok jus. Ia membeli 2 buah donat berlumur cokelat padat, 3 klappertart
untuk Kiva sore nanti, dan segelas jus jambu kesukaannya. Kemudian melanjutkan
perjalanan menuju rumah. Di jalan, terjadi kemacetan panjang. Lya jenuh dan
kepanasan. Padahal jam masih menunjukkan pukul 10 dan AC mobil sudah menyala
pada temperatur nomor 2. Masih bisa dibilang pagi untuk daerah bercuaca cerah dan
berhawa dingin. Lya menengok keadaan luar dari jendela mobil. Ia melihat asap pabrik
mengepul dimana – mana. Kanan kiri dipenuhi gedung – gedung bertingkat dan
berkaca. Ia juga melihat asap kendaraan
motor di depan, dan samping mobilnya. Lya menunduk. Dalam hati ia berkata,
“Jika setiap hari seperti ini, dan kendaraan bermotor, juga gedung bertingkat bakal
bertambah setiap tahunnya, bagaimana bumi ini 30 tahun yang akan datang??” Lya bertanya – tanya dalam hati.
***
Tingg..Tongg.. Bel rumah Lya berbunyi. Lya
membuka pintu. Ternyata itu Kiva. “Eh, Kiva. Ayo masuk dulu.” Perintah Lya. Beberapa
menit kemudian, Lya sudah datang dengan peralatan lukisnya. “Kita melukis di taman komplek aja ya?”. Kiva mengangguk
dan mengikutinya sampai ke taman komplek. “Nah..ini yang nanti bakal jadi obyek
lukisan kita.” Ucap Lya menunjuk taman bunga dan air mancur yang indah di
depannya. Kiva mengangguk setuju. Ia segera mengeluarkan peralatan lukisnya.
Begitupun dengan Lya. Saat Lya akan menggoreskan kuas pada kanvas, tiba – tiba
berhenti dan berfikir. Kemudian ia meletakkan palet dan kuasnya di sebelah
kursi. Mengurungkan niatnya untuk melanjutkan melukis. Ia berlari menuju taman
di depannya dan bersembunyi di balik salah satu pohon besar. Memang, taman
komplek berada di dekat hutan jati yang tidak terlalu luas. “Sedang apa orang itu?” Tanya Lya dalam
hati. “Mengapa ia merobohkan semua pohon – pohon itu?” Tanya Lya dalam hati
lagi. Lya memang sangat cuek terhadap lingkungan. Ia tidak begitu mengerti tentang
lingkungan. Yang ia tahu hanya polusi, banjir, dan tanah longsor. Itu saja dulu
Lya terpaksa tahu karena menginap di rumah Tante Hety yang dulunya ia seorang
Duta Lingkungan. Lya menginap di rumah Tante Hety selama sebulan penuh dan
setiap harinya diisi dengan pelajaran tentang lingkungan yang membuat Lya
pusing tak mengerti. Kiva yang memperhatikan gerak – gerik Lya kemudian mendekat dan mencolek
bahu Lya. Lya terkejut. “Kamu ngapain di sini, Ly? Bukankah kit..” Lya memotong
pembicaraan Kiva dengan menempelkan jari telunjuknya pada bibir Kiva.
“Ssstt..aku sedang mengamati orang itu.” Bisik Lya. “Itu kan pemburu liar??”
Teriak Kiva. Orang yang sedang merobohkan pohon tadi menghentikan pekerjaannya
dan menoleh ke kanan-kiri karena mendengar teriakan Kiva yang cukup keras. Lya
dan Kiva segera merendah dan bersembunyi di balik semak. Orang itu kembali
melanjutkan pekerjaannya, merobohkan pohon. Setelah merasa aman, Kiva dan Lya berlari
kembali ke taman. Lya buru – buru membereskan peralatan lukisnya. “Ly, kamu mau
kemana?” Tanya Kiva. “Aku mau pulang, Kiv. Aku ada urusan mendadak di rumah. Maaf.” Ucap Lya
singkat seraya pulang ke rumah. Kiva memandangi Lya dengan heran. “Lya habis kesambet
setan apaan, sih?” gumamnya. Kiva pun juga membereskan peralatan lukisnya dan ikut
pulang.
Di kamar, Lya mengobrak – abrik rak bukunya. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu yang
dianggap ‘PENTING’. Sampai – sampai kamarnya dipenuhi buku – buku berserakan.
“Duuhhhh..dimana sih? Dulu kan mama pernah beliin buku itu? Kenapa coba dulu aku
cuekin buku itu? Huh!” Lya mengomel – ngomel enggak jelas. Tiba – tiba raut
wajahnya berubah senang. Lya mendapatkan buku yang di cari. Buku berjudul ‘Ensiklopedia Lingkungan’. Ia membolak –
balik halaman buku bersampul hijau itu. Ia berhenti pada satu halaman bergambar
animasi 4 orang sedang ‘Merobohkan Pohon’. Matanya bergerak ke kiri dan kanan
mencoba memahami isi tulisan yang tertera pada halaman itu. Lya mengangguk
mengerti. Kini, ia sudah tahu apa yang dilakukan orang berbadan kekar di hutan
dekat taman tadi sore. Lya menengok ke jendela. Ia memperhatikan bintang – bintang yang bertaburan
di langit dan Bulan yang menampakkan sinar terang benderang. Lya tersenyum lalu
membereskan buku – buku yang berserakan di lantai, kasur, dan meja belajarnya.
***
Esok pagi di sekolah, Lya bertemu dengan Kiva.
“Ly, kemarin kamu kok pu..” ucapan Kiva terputus karena Lya buru – buru
menjawabnya “Maaf. Kemarin aku di sms sama mama suruh pulang lebih cepat. Aku
pergi dulu.” “Ly..Lyaa!! Tunggu!!”. Lya tak menggubris panggilan Kiva. Kiva
menghela nafas dan kembali berjalan menuju kantin.
Di perjalanan pulang sekolah, Lya lagi – lagi
terjebak macet panjang. “Pak, kok macet lagi, sih?” Keluh Lya pada sopirnya.
“Iya, non. Ada banjir. Jalurnya dialihkan. Lewat pemukiman yang jalannya
sempit. Jadi harus bergantian.” Jelas Pak Rudi. Lya menarik nafas panjang.
Dilihatnya jendela mobil dengan malas. Saat melewati pemukiman padat penduduk,
Lya memicingkan mata. Ia melihat aliran sungai yang kotor dan airnya tidak jernih.
Kemudian ada seorang wanita parubaya sedang membuang sampah dari tong yang
dibawanya. Dalam hati ia berkata “Sungguh mengenaskan dunia ini. Pantas saja,
sering terjadi tanah longsor dan banjir. Ingin rasanya aku melindungi dunia
ini. Aku ingin merubah sikap. Sikap yang cuek terhadap lingkungan ingin kuubah
menjadi pecinta lingkungan. Tekadku sudah bulat.” Gumam Lya.
Sore hari, Lya pergi ke hutan komplek dengan
menaiki sepeda mininya. Ia bersembunyi di balik semak – semak. Mengintip
kegiatan para pria kekar itu. “Apa? Pohon di hutan komplek ini sudah hampir lenyap?
Bagaimana bisa? Bagaimana nanti kehidupan di komplek ini jika tidak ada
penghasil oksigen?” Ujar Lya lirih. Ia kemudian kembali memacu sepeda mininya
ke rumah Pak Udin, ketua komplek Perumahan Lya. “Pak Udin!! Pak Udin!!” Teriak
Lya dari depan rumah Bapak berusia kepala empat itu. “Iya. Ada apa nak Lya?” Pak Udin datang dengan
tergopoh – gopoh. “Lya minta waktu bapak sebentar ya? Lya mau ngobrol sama bapak.” Ucap
Lya sembari memarkir sepeda mininya di depan garasi mobil pak Udin. Pak Udin
mempersilahkan Lya masuk. “Begini, pak. Akhir – akhir ini, saya melihat ada
beberapa orang berbadan kekar melakukan penebangan pohon di hutan Komplek ini.
Dan jika tidak ada penanganan lebih lanjut tentang nasib hutan komplek,
bagaimana kehidupan kita nantinya? Jika tidak ada tumbuhan sebagai penghasil
oksigen, kita tidak dapat bernafas dan akhirnya mati. Bagaimana pak?” Ujar Lya
menggebu – nggebu. “Tenang, nak Lya. Sebenarnya saya sudah melarang mereka.
Namun hanya bertahan selama 3 hari. Lalu, beraktifitas seperti itu lagi sampai
sekarang. Saya menyerah karena mengetahui mereka adalah pekerja bayaran Pak
Anton, sahabat karib saya. Maaf, nak Lya.” Terang Pak Udin. Lya merasa sedikit
geram pada Pak Udin. Pemimpin macam apa ini? Hanya karena sahabat karib saja
tidak berani menentangnya. Huh! “Bapak ini bagaimana? Keselamatan penduduk
komplek lebih penting, pak. Apa bapak pikir dengan masih adanya pohon di depan
rumah warga,bisa mengantisipasi polusi, udara panas, dan penghasilan oksigen?”
Ujar Lya berusaha mengendalikan emosinya. “Masih bisa, nak.” “Iya pak memang
masih bisa, tapi tidak maksimal. Lapisan atmosfer bakal terancam. Juga
kehidupan di bumi, pak.” Mendadak Lya berpengetahuan luas tentang lingkungan.
Dalam hati, Lya pun juga heran, kok dia bisa tahu segalanya tentang lingkungan
sampai dampaknya? Padahal kan dulu dia malas mempelajari bab lingkungan. Ah! Sudahlah.
Pak Udin menunduk menyesal. Lya juga menyesali perkataan kasarnya pada Pak
Udin. “Maaf, pak.
Jika perkataan saya tadi keterlaluan. Mohon di fikirkan baik – baik, pak. Saya
permisi dulu.” Lya berpamit pada Pak Udin. Pak Udin hanya mengangguk sambil
tersenyum.
***
Oh ya, sebenarnya Lya mempunyai saudara
kembar, bernama Selviana Tiffany atau biasa dipanggil Selva. Selva meninggal
dalam kecelakaan naas 2 tahun lalu bersama Papanya. Kejadian tersebut terjadi
saat Papa mengantar Selva ke tempat latihan balet. Papa Lya selamat dalam
kecelakaan tersebut. Namun, menderita stroke cukup parah. Sedangkan
Selva meninggal dalam peristiwa tersebut karena kepalanya terbentur benda keras
hingga menyebabkan gegar otak dan meninggal. Pak Dani atau Papa Lya sekarang menjalani
rawat jalan dan tidak bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kini, mama yang harus menanggung beban
keluarga.
***
Lya berjalan menyusuri koridor sekolah. Ponselnya
berdering. Ada telepon masuk dari Tante Hety. Lya segera memencet tombol
telepon berwarna hijau.
Tante Hety : “Assalamu’alaikum Lya.”
Lya : “Wa’alaikumsalam tante. Ada
apa?”
Tante Hety : “Begini, Mamamu kemarin sudah
cerita pada tante. Katanya, sekarang, kamu mulai menyukai lingkungan. Apa benar?”
Lya : “Iya, benar. Tante.”
Tante Hety : “Rencananya, tante mau mengajak
kamu bergabung dalam klub lingkungan tante. Kamu mau, kan?”
Lya : “Emm...bentar aku tanya mama
sama papa dulu ya, te?”
Tante Hety : “Kemarin tante sudah bertanya
pada mama dan papamu. Dan mereke berdua memperbolehkan dengan senang hati.”
Lya : “Beneran tante? Waahhh.. kalau
begitu, aku mau tante.”
Tante Hety : “Oke. Besok sore tante Hety
sama Aldo ke rumahmu ya?”
Lya : “Siaapp tante!!”
Tante Hety
: “Oke. Assalamu’alaikum.”
Lya : “Wa’alaikumsalam, tante.”
Lya menutup telepon dengan hati berbunga.
Ia berjalan gontai sambil tersenyum – senyum sendiri. Anak – anak yang bertemu
dengan Lya merasa heran. Sedari tadi, tingkah Lya diperhatikan oleh semua orang
yang bertemu dengannya tadi. Namun Lya tak peduli. Ia tetap berjalan dengan santai dan
hati yang riang gembira menuju kelas.
Sore harinya, saat Lya sedang menonton acara
televisi, seseorang mengetuk pintu dari luar. Lya segera meletakkan bantal berbentuk
hati yang dipeluknya tadi. Ternyata 3 lelaki 1 diantaranya adalah Pak Udin. Lya
memicingkan mata. “Ada keperluan apa Pak Udin kesini bersama 2 orang ini?” Tanya
Lya heran. “Kedua orang ini, Pak Zendi dan Pak Ahmad. Pemilik saham komplek
ini. Kami bertiga datang untuk membicarakan soal penebangan liar yang terjadi
di perhutanan komplek. Kamu akan dijadikan sebagai narasumber.” Terang Pak
Udin. Lya mengangguk mengerti. “Oh. Ya sudah, mari silakan masuk, Pak.” Ketiga orang itu masuk dan duduk di ruang tamu. Lya pergi ke dapur untuk memesan minuman
pada Bi Vea. Lalu kembali ke ruang tamu. “Nak Lya. Besok siang. Anda ikut kami
ke kantor perhutanan di Kota untuk mengurus permasalahan ini. Saya sudah
laporkan tindakan kejam ini pada pihak kepolisian dan sedang diurus.” Pak Ahmad
memulai pembicaraan. “Ya, nak Lya. Anda akan menjadi saksi kekejaman Pak Anton
dan pekerja bayarannya itu.” Lanjut Pak Zendi. “Tapi saya tidak bisa
menjelaskannya.” Ucap Lya. “Tenang saja, kami akan membantu nak Lya untuk menjelaskan
semuanya pada polisi.” Ucap Pak Ahmad lagi. Lya menyetujui permintaan Pak Ahmad
dan Pak Zendi yang memintanya untuk menjadi narasumber atau saksi mata.
Esoknya, saat pulang sekolah , Lya dijemput
oleh mobil sedan hitam dan seorang lelaki berbadan besar dan tegap. Saat sampai
di gerbang depan bersama Bayu, Lya dicegat dan diperintah untuk masuk ke mobil.
Lya menurut saja. Dari balik jendela, Lya melambaikan tangan pada Bayu.
Ternyata, mobil dan penjemput Lya tadi adalah atas perintah Pak Zendi. Mobil
itu menuju Kantor Polisi.
Di Kantor Polisi, Lya masih agak canggung dan
gugup ketika menjawab sederet pertanyaan dari Polisi. Bermenit - menit ia
diinterogasi akhirnya selesai juga. Saat hendak membeli minuman di supermarket terdekat, mendadak Lya ingat
sesuatu. Ia mempunyai janji kepada Tante
Hety sore ini. Lya segera berpamitan kepada Pak Zendi, Pak Ahmad, dan Pak Udin
yang juga berada di dalam supermarket itu.
Sesampai di rumah, Tante Hety sudah
menunggu. “Oh. Maaf telah membuat tante menunggu lama.” Ucap Lya. Tante Hety
hanya tersenyum memaklumi. “Oh ya, Ly. Di klub tante itu sering ngadain kegiatan.
Dan ada jadualnya.” Jelas Tante Hety. “Tapi aku enggak tahu apa aja jadualnya,
Te.” “Ini, tante udah bawa catatan klub buat kamu. Disimpan baik – baik ya?
Nanti kalo ada kegiatan, pasti tante akan hubungi kamu. Oh iya, tante juga bawa
ini buat kamu.” Kata Tante Hety seraya menyerahkan tas besar berwarna merah pada
Lya. Lya menerimanya dengan senang sekaligus penasaran. Ternyata isinya adalah
5 pasang baju dan 3 pasang sepatu. Lya memekik girang dan memeluk Tante Hety.
“Makasih, tante. Makasih banyak!!” “Iya, sama – sama, Lya. Ya sudah tante pamit
pulang dulu, ya?” Tante Hety menuju tempat parker mobilnya. “Iya, tante.
Makasih baju sama sepatunya. Hati – hati di jalan tante.” Pesan Lya pada Tante Hety. “Iya, sayang.”
Ucap Tante Hety lembut. Ia segera masuk mobil beserta putranya, Aldo.
“Dadaaahhh!!” Lya melambaikan tangan kepada tante Hety. Mobilnya sudah
meninggalkan halaman rumah Lya.
***
Rabu sore, Lya membaca majalah fashion di
kamarnya. Ia hanya membolak – balik halamannya saja.
Drrttt…drrtt..drrrtt….drrtt… Handphone Lya bergetar, dengan malas, Lya bangkit
untuk mengambil handphonenya yang berada di jendela kamar. Pesan baru diterima. Tante Hety
mengabarkan bahwa hari Minggu pagi, ada acara Reboisasi besar – besaran di
Hutan Tominez. Lya diharap ikut serta dalam kegiatan tersebut. Berkumpul pukul
07.00. Lya tersenyum dan melempar ponselnya ke spring bed.
***
Minggu pagi yang cerah. Lya sudah bersiap
mengikuti kegiatan Reboisasi. Ia mengenakan kaus dan rok mini berwarna hijau
muda. Juga flat shoes berwarna putih. Ia berangkat diantar oleh mamanya. Kegiatan
berlangsung sampai pukul 10.00. Peluh membasahi kening Lya. Mama
yang ikut menunggu di area hutan segera menyodorkan Air minum dan tisu
untuk mengelap keringat Lya. “Ma, kegiatannya seru dan menyenangkan!” Ujar Lya.
“Oh ya?” Tanya mama tak percaya. “Iya, mam. Oh ya, besok kata Tante Hety ada meeting klub di rumah tante. Besok
anterin ya, ma?” Pinta Lya pada mamanya. Mama mengangguk setuju.
***
Meeting Kamis sore kali ini membahas tentang ‘Penanganan
Lingkungan’. Beberapa anggota klub seperti Kak Rio dan Kak Febby ikut memberikan
pendapat. Begitupun dengan Lya. “Saya mempunyai usul. Misal setiap rumah di
seluruh kota ini, diharuskan menanam tanaman minimal 3. Juga klub kita menanam
pohon di sepanjang jalanan kota dan pengerukan sungai yang tercemar sampah.
Setiap rumah dihimbau memiliki tempat sampah. Bagaimana?” Lya berbicara panjang
lebar. Seluruh peserta meeting sore ini bertepuk tangan dan tersenyum bangga kepada Lya. Lya bingung dan heran. Lalu, ketua klub, Om
Hasnan, berbicara. “Usulmu bagus sekali, Ly. Kami semua setuju dengan usulmu.
Kami akan mengajukan permintaan ini ke pemerintah. Mungkin sekitar 3 hari lagi hasilnya akan
terlihat. Terima kasih atas usulmu.” Om Hasnan berkata bangga kepada Lya. Lya hanya tersenyum
senang.
Tiga hari kemudian, perkataan Om Hasnan terbukti. Di surat kabar kota dan
televisi terdengar imbauan untuk menghijaukan lingkungan sekitar. Saat
perjalanan pulang dari sekolah, Lya juga melihat bego sedang mengeruk sungai kotor di dekat pemukiman padat penduduk. Lya tersenyum senang
melihatnya.
Seminggu kemudian, hasilnya sudah terlihat.
Kota Androga tampak hijau dan segar. Lya
berjalan di taman kota bersama mama. Tersenyum senang melihat polusi berkurang.
Tiba – tiba, ponsel Lya bergetar. Pesan masuk dari Tante Hety yang memintanya
untuk segera ke markas klub. Lya segera menarik tangan mama untuk mengantarnya
ke markas klub. Sesampai di sana, markas sudah ramai oleh anggota klub. Lya kaget dan bingung karena semua orang
yang ada disana memberinya ucapan selamat. Tante Hety tersenyum sambil memeluk
Lya. “Selamat ya, sayang. Kamu telah dinobatkan menjadi Duta Lingkungan untuk
tahun ini. Dan mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah. Sore ini, kamu
akan kami antar ke Pendopo untuk penyerahan penghargaan dan peresmian Duta
Lingkungan.” Jelas Tante Hety. Tante Hety menitikkan air mata bahagia.
Begitupun dengan mama. Mama dan Tante Hetty memeluk Lya. Semua anggota klub
bertepuk tangan. “Stelliana Aulya Tiffany memang putri kecil hebat, mama.” Ucap
mama kemudian mencium Lya. Memang tidak sia – sia perjuangannya selama ini.
-cy